Kamis, 28 Juli 2016

CURICULUM VITAE
Nama                          : ALISATI  SIREGAR.                             

 Tempat, tgl lahir       : Kisaran, 05 Oktober 1971.
Jenis Kelamin            : Laki-laki.
Agama                        : Kristen Protestant.
Status                          : Menikah.
Alamat Rumah          : Kota Tangerang, Propinsi Banten.
Hobby                         : Membaca, Diskusi, Olah raga beladiri, nonton tinju.
Motto hidup               : Selagi napas masih ada jangan takut berkarya yang lebih baik             
                                       karena Tuhan pasti menolong.
No. Hp.                       : 081212332622.
Email                          : gracialawyer@gmail.com
Riwayat Pendidikan:
 SD Negeri 1, Rawang Baru, Kec. Meranti, Kabupaten Asahan- Sumut, tahun 1979-1985
 SMP Negeri 3 Kisaran, Asahan Sumatera Utara tahun 1985-1988.
SMA Negeri 1 Kisaran, Asahan Sumutera Utara tahun 1988-1991.
Sarjan Hukum dari Fakultas Hukum Unkris Jakarta lulus tahun 1996.
Magister Hukum dari  Pasca Sarjana Ilmu Hukum Untirta Serang.
Riwayat Pekerjaan/Karir:
Magang di Pos Bakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur tahun 1997.
Magang Assiten Pengacara di Kantor D.H. Lubis dan P. Z. Siregar akhir tahun 1998-1999.
Lulus ujian Pengacara Praktek dan Ujian Advokat dan dilantik sebagai Pengacara Praktek  tahun 1998.
Membuka Kantor sendiri dengan nama Law Office “Gracia” tahun 2000 s.d sekarang.
Dosen di Sekolah Tinggi Theology Yayasan Salam Indonesia, tahun 2000 s.d 2003 sekaligus menjabat Pembantu Direktur III Bidang Kemahasiswaan.
Riwayat Organisasi Kemahasiswaan Dan Ormas.
Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Unkris Jakarta Tahun 1994-1995.
Pengurus Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Unkris Jakarta tahun 1994-1995.
Seketaris Paguyuban Pengacara/Advokat Tangerang (PPKKT) tahun 1999-2000.
Ketua Bidang Hukum Organisasi Parkindo tahun 2000-2001.
Anggota Dewan Penasihat DPP Garindo (Gerakan Rakyat Indonesia) Untuk Jokowi tahun 20014 s.d sekarang.
Wakil Ketua Bidang Hukum Dan HAM DPD Partai Perindo Propinsi Banten 2015 sampai dengan tahun 2020.
Wakil Ketua Bidang PKPA, Magang Dan Pengangkatan Sumpah Advokat Peradi Rumah Advokat Indonesia Tangerang Raya, tahun 2016 sampai dengan tahun 2020.
Penghargaan:
Mendapat beasiswa Supersemar sewaktu masiswa di FH. Unkri Jakarta dari tahun 1993 s.d selesai
Mendapatkan beasiswa dari Departemen Pendidikan kebudayaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi untuk melanjutkan Pasca Sarjana Hukum atas rekomendasi dari Unkris Jakarta Tahun 1998 tidak diambil karena lebih memilih kerja.
Kasus-kasus yang ditangani antaralain:
Puluhan Kasus Pidana, Perdata, kasus-kasus tanah, kasus perburuhan dan Kosultan hukum tetap beberapa Perusahaan.
Menangani kasus-kasus Korupsi antaralain:
Penasihat Terdakwa Alfian, terdakwa dalam kasus korupsi Untirta senilai 50 M. Tahun 2013 di Pengadilan Korupsi Serang.
Kasus- Koruspsi Kabid Dikdas Kabupaten Pandeglang dengan Tersangkan Drs. Hamim, Tahun 2013.
Kasus Korupsi Pengawas SD dengan Terdakwa Awan Juanda di Pengadilan Tipikor Serang tahun 2013.
Kasus Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa di Damkar Kota Tangerang tahun 2014
Kasus Penembakan mati 5 orang Begal dan 11 orang begal asal Lampung di BSD Tangerang Selatan, ditangkap tanpa sah.
Penangan Kasus PLTA Tonsea Lama Air dengan PT. PLN Persero Pusat di Roterrdam Belanda 22 Juli 2015.
Serta ratusan kasus-kasus Pidana, Perdata, Perburuhan dll.


PERANAN HUKUM PROGRESSIF UNTUK MEMBERIKAN KEADILAN
(Ditujukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Terstruktur Mata Kuliah Penemuan Hukum)
Dosen: Prof. Dr. H. Runtung, SH. M.Hum.
Dr. A. Asnawi R, SH. MH.


Disusun  O l e h  :
ALISATI SIREGAR.
NIM: 7773133179
Semester/Kelas: II/C.

PASCA SARJANA (S-2).
PRODI HUKUM
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG - 2014












KATA PENGANTAR

Puji dan sembah kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena pertolongannyalah Penulis dapat merampungkan Makalah dengan judul  “PERANAN HUKUM PROGRESSIF UNTUK MEMBERIKAN KEADILAN”.
Makalah ini disajikan oleh Penulis selaku Mahasiswa Pasca Sarjana (S-2) Fakultas Hukum Untirta, Semester  II, Tahun Akademik 2014 sebagai persyaratan penilaian  dari “Mata Kuliah Penemuan Hukum” oleh bapak Prof.  Dr. H. Runtung SH, M.Hum, dan bapak Aceng Asnawi, R. SH, MH , sebagai dosen pembimbing mata kuliah ini.
Semoga Makalah ini bermamfaat dalam kazanah pertumbuhan dan pengetahuan kita para mahasiswa Pasca Sarjana dalam memahami hal-hal yang ada dalam pemikiran pembuatan suatu karya ilmiah disertasi.
                                                                                 Serang,  10. Mei Tahun  2014
                                                                                  Penulis


                                                                                  ALISATI SIREGAR.


















DAFTAR ISI
I.       Kata  Pengantar...............................................................................................................................3
II.    Bab  I.      PENDAHULUAN..........................................................................................................4
III. BAB II. PEMBAHASAN...........................................................................................................8     
III. BAB III PENUTUP......................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................17


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak Indonesia merdeka, Pendiri Bangsa ini telah mendisain bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkankan atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan, ataupu agama. Hukum harus dijadikan panglima bukan selogan semata-mata yang tanpa makna dan arti. Sehingga hukum diharapkan mampu menciptakan keadilan yang mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam penegakan hukum seringkali ada perdebatan antara kepastian hukum dan keadilan yang tidak pernah berujung pangkalnya. Jika kepastian hukum  yang diutamakan seringkali dianggap oleh para pencarai keadilan tidak membawa keadilan bagi mereka. Hukum dan Penegakan hukum haruslah membawa azas mamfaat bagi kehidupan masyarakat yang sejahtera, bukan malah membawa mudorat (kekacauan). Sehingga boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.[1] Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan:
…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.[2]
Namun didalam realita kehidupan masyarakat, sejak Indonesia merdeka sampai jaman reformasi ini,  penegakan hukum masih mengalami sebuah masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum tak jarang sering kali dijadikan alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan penguasa, yang menistakan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat untuk memuaskan napsu penguasa dan sekelompok orang yang melakukan intervensi jalannya hukum dan penegakan hukum itu sendiri, sehingga menghianati  tujuan hukum untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahtraan bagi masyarakat.
Hukum dan keadilan merupakan dua buah sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk mendapatkan keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil. Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat.  Hukum gagal memberikan keadilan ditengah masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda (sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum  adalah karena masih terjerembab  kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya.[3]  Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.[4]
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.[5]
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum  yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti “Markus” (makelar kasus), KUHAP (Kasih Uang Habis Perkara), pasal karet, istilah “86” (atur saja) dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dimaknai transaksi-transaksi korupsi, kolusi dan nepotisme didalam institusi penegak hukum.
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan di dalam ketidak adilan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan harkat martabat manusisa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia  sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi diskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
            Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.[6]
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana  hukum progresif bisa diterapkan untuk mewujudkan  keadilan?
2. Bagaimana landasan konseptual hukum progresif?

BAB II
PEMBAHASAN
  1.  Hukum Progresif  Diterapkan Untuk Mewujudkan Keadilan
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian dari masa otoriter dan saat ini mendekati masa demokratis yang berproses kepada kesempurnaannya kelak. Dalam dekade masa Orde Lama sampai Orde Baru, aspek pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Orde Baru mengutamakan politik yang stabil dengan memaknai “adanya stabilitas keamanan nasional” sehingga, Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi itu, maka stabilitas nasional (susunan yang stabil) menjadi prasyarat utama, dan untuk menjamin stabilitas itu dituntut hadirnya pemerintah yang kuat. [7] Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.[8]
Hakikat reformasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, reformasi hukum dan restorasi justice itu belum menemukan wujud dan jati dirinya. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.[9]
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hokum, karena disitu ada masyarakat disitu pula ada hukum (Ubi societas ibi ius). Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.[10]
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Aristoteles dalam teorinya “Perasaan sosial etis” memformulasi keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam sebagai prinsif keadilan yang utama yakni “Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere”(hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsif keadilan ini merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat dalam hidup, dan karenanya mengikat semua orang, baik masyarakat maupun penguasa. [11] Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.[12]
            Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[13]
            Merumuskan konsep keadilan progresif  ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.
            Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.[14]
            Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
            Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.  Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran.[15]
  1. Landasan Konseptual hukum progresif
Studi hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik.[16]
            Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
            Adalah keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?.[17]
            Agenda besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem kemanusiaan.
            Dengan demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
            Hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).[18]
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.[19] Hukum progresif  berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu; untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
            Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum dan masyarakatnya.
            Dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
            Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan.[20]          
Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti  melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”.
Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.[21]
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif  bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Munculnya gagasan atau ajaran hukum progressif adalah sebagai jawaban atas kegagalan hukum positif (positivisme hukum) dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum positif cenderung mengutamakan kepastian hukum sebagai dasar utamanya sehingga penerapan pasal pasal dianggap telah memberikan rasa keadilan (keadilan prosedural) tanpa memandang keadilan yang substansi). Karena keadilan prosedural menjadi tujuan utamanya, maka lembaga peradilan (hakim) hanyalah merupakan corong dari undang-undang, bukan lembaga yang memberikan keadilan yang hakiki bagi perburuan untuk mencari keadilan.
Lahirnya hukum yang progressif akan mengatasi kebuntuan-kebuntuan penegakan hukum dan keadilan. Kaburnya tujuan hukum di Indonesia memerlukan langkah-langkah berani untuk merubahnya. Salah satunya ialah dengan membumikan hukum progresif. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.
Dalam berbagai kasus-kasus hukum saat ini seperti kasus korupsi, kasus pedofhilia (kekerasan sex terhadap anak-anak) diharapkan agar pengadilan atau hakim bisa menerapkan hukum progresif  bagi korban-korban anak-anak dalam kejahatan sex, yang bisa memutus mata rantai kejahatan sex ini dari  korban pedofhilia menjadi pelaku dikemudian hari, dan bagaimana pelaku bisa diarahkan untuk tidak menjadi pelaku lagi sehingga disinilah diperlukan terobosan hukum progressif.

DAFTAR PUSTAKA
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum” Genta Publishing, 2013.





[1] Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009  hlm.1
[2] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
[3] Op Cit, Sabian Usman, 219                                          
[4] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,hlm. 373
[5] Saifur Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010
[6] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm. xiii
[7] Op. Cit. Mahfud  MD, hlm. 205
[8] Ibid., Mahfud MD, hlm. 345
[9] Lebih jauh Arman mengemukakan bahwa dalam menetapkan putusannya hakim memang harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana dituntut sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak bersedia, melainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas.  Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 340
[10] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005, hlm.1

[11] Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum” Genta Publishing, 2013, hlm. 42
[12] Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm. 70
[13] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 270
[14] Ibid, hlm. 272
[15] Ibid, hlm. 276
[16] Op. Cit., Mahfud MD, hlm. 368
[17] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 70
[18] Ibid, hlm. 72
[19] Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hlm. 31
[20] Ibid, 74
[21] Ibid, 75