PERANAN HUKUM PROGRESSIF UNTUK MEMBERIKAN KEADILAN
(Ditujukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Terstruktur Mata
Kuliah Penemuan Hukum)
Dosen: Prof. Dr. H. Runtung, SH. M.Hum.
Dr. A. Asnawi R, SH. MH.
Disusun O l e h :
ALISATI
SIREGAR.
NIM: 7773133179
Semester/Kelas: II/C.
PASCA
SARJANA (S-2).
PRODI
HUKUM
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
- 2014
KATA PENGANTAR
Puji dan sembah kehadirat Allah Yang
Maha Kuasa, karena pertolongannyalah Penulis dapat merampungkan Makalah dengan
judul “PERANAN
HUKUM PROGRESSIF UNTUK MEMBERIKAN
KEADILAN”.
Makalah ini disajikan oleh Penulis
selaku Mahasiswa Pasca Sarjana (S-2) Fakultas Hukum Untirta, Semester II, Tahun Akademik 2014 sebagai persyaratan
penilaian dari “Mata Kuliah Penemuan
Hukum” oleh bapak Prof. Dr. H. Runtung
SH, M.Hum, dan bapak Aceng Asnawi, R. SH, MH , sebagai dosen pembimbing mata
kuliah ini.
Semoga
Makalah ini bermamfaat dalam kazanah pertumbuhan dan pengetahuan kita para
mahasiswa Pasca Sarjana dalam memahami hal-hal yang ada dalam pemikiran
pembuatan suatu karya ilmiah disertasi.
Serang, 10. Mei Tahun
2014
Penulis
ALISATI SIREGAR.
DAFTAR
ISI
I. Kata
Pengantar...............................................................................................................................3
II. Bab I. PENDAHULUAN..........................................................................................................4
III.
BAB II. PEMBAHASAN...........................................................................................................8
III. BAB III PENUTUP......................................................................................................................16
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sejak Indonesia merdeka, Pendiri Bangsa ini telah mendisain bahwa
Indonesia adalah negara yang berdasarkankan
atas hukum dan tidak didasarkan atas kekuasaan, ataupu agama. Hukum harus dijadikan
panglima bukan selogan
semata-mata yang tanpa makna dan arti. Sehingga hukum diharapkan mampu menciptakan keadilan
yang mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam penegakan
hukum seringkali ada perdebatan antara kepastian hukum dan keadilan yang tidak
pernah berujung pangkalnya. Jika kepastian hukum
yang diutamakan seringkali dianggap oleh para pencarai keadilan tidak
membawa keadilan bagi mereka. Hukum dan Penegakan hukum haruslah membawa azas
mamfaat bagi kehidupan masyarakat yang sejahtera, bukan malah membawa mudorat
(kekacauan). Sehingga boleh
dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam
konteks mencari kebahagiaan hidup. Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan:
….,
baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga
hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan
bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum
tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia,
khususnya kebahagiaan manusia.
Namun didalam realita kehidupan
masyarakat, sejak Indonesia
merdeka sampai jaman reformasi ini,
penegakan hukum masih mengalami
sebuah masalah krusial yang mengaburkan makna dari hukum tersebut. Hukum tak jarang sering kali dijadikan
alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu dan hukum dijadikan
sebuah alat untuk melegalkan tindakan-tindakan penguasa, yang menistakan
nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat. Hukum hanya dijadikan alat untuk memuaskan napsu penguasa dan sekelompok orang yang
melakukan intervensi jalannya hukum dan penegakan hukum itu sendiri, sehingga
menghianati tujuan hukum
untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahtraan bagi masyarakat.
Hukum dan keadilan merupakan dua buah
sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hukum bertujuan untuk mewujudkan
keadilan dan keadilan tanpa hukum ibarat macan ompong. Namun untuk mendapatkan
keadilan maka pencari keadilan harus melalui prosedur-prosedur yang tidak adil.
Sehingga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat, hukum bukan lagi
untuk membahagiakan masyarakat tetapi malah menyengsarakan masyarakat. Hukum gagal memberikan keadilan ditengah
masyarakat. Supremasi hukum yang selama ini didengungkan hanyalah sebagai tanda
(sign) tanpa makna. Teks-teks hukum hanya permainan bahasa (language
of game) yang cenderung menipu dan mengecewakan.
Salah satu penyebab kemandegan yang
terjadi didalam dunia hukum adalah
karena masih terjerembab kepada paradigma
tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan
kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang
senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun
pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya
dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas
undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai
sebagai sebuah hukum.
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia
telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasarkan
periode sistem politik) antara konfigurasi politik yang demokratis dan
konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan
konfigurasi politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi
politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang dilahirkannya
berkarakter responsive, sebaliknya ketika konfigurasi politik tampil secara
otoriter, hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.
Reformasi yang telah bergulir di
Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal
ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup
hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan ditengah
masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta
manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak
menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai
buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia
untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio,
tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah
mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Keadilan bukan verifikasi saklek atas
maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal Undang-Undang.
Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga
tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa kemanusiaannya. Yang dibutuhkan
bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia.
Sehingga keadilan hanya diasumsikan
kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam
sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk
bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum
yang harus diselesaikan . Isu umum yang
terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan
yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan
dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti “Markus” (makelar kasus), KUHAP
(Kasih Uang Habis Perkara), pasal karet, istilah
“86” (atur saja) dan penyelesaian
dibalik meja. Keadilan dimaknai
transaksi-transaksi korupsi, kolusi dan nepotisme
didalam institusi penegak hukum.
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan di dalam ketidak adilan itu.
Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan harkat martabat manusisa.
Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di
Indonesia sejajar dengan upaya bangsa
mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan
hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan
tidak ada lagi diskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya
melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan,
keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian,
tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut
Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak
hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter),
melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari
undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,
melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang
dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap
penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada
yang biasa dilakukan.
B. Masalah Pokok
1. Bagaimana hukum progresif bisa diterapkan untuk mewujudkan keadilan?
2. Bagaimana landasan konseptual hukum
progresif?
BAB II
PEMBAHASAN
- Hukum Progresif Diterapkan Untuk Mewujudkan Keadilan
Sejarah konfigurasi politik di
Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian dari masa otoriter dan saat ini mendekati masa demokratis yang berproses
kepada kesempurnaannya kelak. Dalam dekade masa Orde Lama sampai Orde Baru, aspek pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya,
periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil
sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat
dan berwatak intervensionis.
Orde Baru mengutamakan politik yang stabil dengan memaknai “adanya stabilitas
keamanan nasional” sehingga, Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi itu, maka
stabilitas nasional (susunan yang stabil) menjadi prasyarat utama, dan untuk
menjamin stabilitas itu dituntut hadirnya pemerintah yang kuat. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat
tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Hakikat
reformasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana
terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, reformasi hukum dan restorasi justice itu belum menemukan
wujud dan jati dirinya. Menurut Hakim Agung
Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu
dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa
keadilan masyarakat tidak jelas.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dari hokum,
karena disitu ada masyarakat disitu pula ada hukum (Ubi societas ibi ius). Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukum
dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi,
hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.
Keadilan adalah inti atau hakikat
hukum. Aristoteles dalam
teorinya “Perasaan sosial etis” memformulasi keadilan bertumpu pada tiga sari
hukum alam sebagai prinsif keadilan yang utama yakni “Honeste vivere, alterum
non laedere, suum quique tribuere”(hidup secara terhormat, tidak mengganggu
orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsif keadilan ini
merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat dalam hidup, dan
karenanya mengikat semua orang, baik masyarakat maupun penguasa. Keadilan tidak hanya
dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang
mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak
cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi
KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan
sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis),
terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi
objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal
yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut
sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep
keadilan yang telah disepakati bersama.
Merumuskan
konsep keadilan progresif ialah
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur.
Akibat dari hukum modren yang memberikan perhatian besar terhadap aspek
prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara
pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan
progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan
substantif.
Kerusakan
dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modren disebabkan
permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu
mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat
sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur
dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan
substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran
terjadinya trials without truth.
Dalam
rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di
Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak
dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan
dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.
Hakim
menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah
suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran
dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang
cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi
oleh “permainan” prosedur. Proses
pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani
ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk
mencari kebenaran.
- Landasan Konseptual hukum progresif
Studi
hubungan antara konfgurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis
bahwa setiap produk hukum merupakan percerminan dari konfigurasi politik yang
melahirkannya. Artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh
visi kelompok dominan (Penguasa). Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan
hukum-hukum yang berkarakter responsif/populistik harus dimulai dari upaya
demokratisasi dalam kehidupan politik.
Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan,
bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari
langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas
empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan
keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20.
Adalah
keprihatinan Satjipti Rahardjo terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para
pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di
Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia
peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada orde baru hukum sudah
bergeser dari social engineering ke dark engineering karena
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin
mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran
diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan
hukum, kemudia Satjipto Rahardjo mengajukan pertanyaan, apa yang salah dengan
hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya?.
Agenda
besar gagasan hukum progrsif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas
utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum
progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena
itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku
penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan
hukum progesif, bahwa konsep “hukum terbaik” mesti diletakkan dalam konteks
keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami problem-problem
kemanusiaan.
Dengan
demikian, gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum
pada sifat yang dogmatic, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang
empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh
berorientasi keadilan substantive.
1. Hukum Sebagai Institusi Yang Dinamis
Hukum
progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang
final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum
selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the
making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:
Hukum
progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final,
melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses
untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun
dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.
Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan,
kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum
yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).
Dalam konteks yang demikian itu, hukum
akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia.
Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan
sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum
sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir
dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada
saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi
tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang
dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
2. Hukum Sebagai Ajaran Kemanusiaan dan Keadilan
Dasar filosofi dari hukum progresif
adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan
yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah
untuk manusia dan bukan sebaliknya. Berdasarkan hal itu, maka kelahiran hukum
bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu;
untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia.
Itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan didalam hukum, maka hukumlah yang
harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk
dimasukkan kedalam skema hukum.
Pernyataan bahwa hukum adalah untuk
manusia, dalam artian hukum hanyalah sebagai “alat” untuk mencapai kehidupan
yang adil, sejahtera dan bahagia, bagi manusia. Oleh karena itu menurut hukum
progresif, hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat.
Sehingga keadilan subtantif yang harus lebih didahulukan ketimbang keadilan
prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi
bagi problem-problem kemanusiaan.
3. Hukum Sebagai Aspek Peraturan dan Perilaku
Orientasi hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan
perilaku (rules and behavior). Peraturan akan membangun sistem hukum
positif yang logis dan rasional. Sedangkan aspek perilaku atau manusia akan
menggerakkan peraturan dan sistem yang telah terbangun itu. Karena asumsi yang
dibangun disini, bahwa hukum bisa dilihat dari perilaku sosial penegak hukum
dan masyarakatnya.
Dengan
menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian
faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti
compassion (perasaan baru), empathy, sincerety
(ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare
(keberanian) dan determination (kebulatan tekad).
Satjipto rahardjo mengutip ucapan
Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan
yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan
perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-undangan sebagai titik tolak
paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai
proses dan proyek kemanusiaan.
Mengutamakan faktor perilaku (manusia)
dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan
perilaku dari aras legalistik-positivistik ke aras kemanusiaan secara utuh (holistik),
yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks
demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung
jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun.
4. Hukum Sebagai Ajaran Pembebasan
hukum progresif menempatkan diri
sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir,
asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan”
itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam
konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah
kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule
breaking”.
Satjipto
Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar
atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim
Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan
tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter.
Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin
Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak
pada Tempo.
Paradigma “pembebasan” yang dimaksud
disini bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan
harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan”
serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum
progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan
sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu.
Dengan begitu, paradigma hukum progresif
bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum
progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta
aksi yang tepat untuk mewujudkannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munculnya gagasan atau ajaran hukum progressif adalah
sebagai jawaban atas kegagalan hukum positif (positivisme hukum) dalam
memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Hukum positif
cenderung mengutamakan kepastian hukum sebagai dasar utamanya sehingga
penerapan pasal pasal dianggap telah memberikan rasa keadilan (keadilan
prosedural) tanpa memandang keadilan yang substansi). Karena keadilan
prosedural menjadi tujuan utamanya, maka lembaga peradilan (hakim) hanyalah
merupakan corong dari undang-undang, bukan lembaga yang
memberikan keadilan yang hakiki bagi
perburuan untuk mencari keadilan.
Lahirnya hukum yang progressif akan
mengatasi kebuntuan-kebuntuan penegakan hukum dan keadilan. Kaburnya tujuan hukum di Indonesia memerlukan
langkah-langkah berani untuk merubahnya. Salah satunya ialah dengan membumikan
hukum progresif. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching
for the truth) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat
dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas
empirik tentang bekerjanya hukum dimasyarakat, berupa ketidakpuasan dan
keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting
Indonesia akhir abad ke-20.
Dalam berbagai kasus-kasus hukum saat
ini seperti kasus korupsi, kasus pedofhilia (kekerasan sex terhadap anak-anak)
diharapkan agar pengadilan atau hakim bisa menerapkan hukum progresif bagi korban-korban anak-anak dalam kejahatan
sex, yang bisa memutus mata rantai kejahatan sex ini dari korban pedofhilia menjadi pelaku dikemudian
hari, dan bagaimana pelaku bisa diarahkan untuk tidak menjadi pelaku lagi
sehingga disinilah diperlukan terobosan hukum progressif.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in
Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif
Watampone, Jakarta, 2006
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum,
Rangkang Education, Yogyakarta, 2010
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi
Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Surabaya, 2005
Mahmud Kusuma, Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi
Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib
bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2006
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan
Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2007
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka
Belajar, Yogyakarta, 2009
Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum” Genta Publishing,
2013.