Alisati Siregar, SH. MH
Lawyer
Jumat, 01 Juni 2018
Rabu, 10 Agustus 2016
E K
S E P
S I
Dalam
Perkara Pidana No:43/Pid. B/2015/PN. Mdo.
Atas
Nama Terdakwa
HENDRIK MEINDER NELWAN
D
I
A
J
U
K
A
N
O
L E H :
LAW
OFFICE LAW OFFICE”GRACIA”
DI
PENGADILAN NEGERI MANADO.
Tanggal,
5 Maret Tahun 2015.
I. PENDAHULUAN
Majelis
Hakim Yang Mulia,
Jaksa
Penuntut Umum yang terhormat,
Sidang
Yang Kami Muliakan.
Pertama-tama izinkanlah kami
mengucapkan Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kekuatan dan perlindungan bagi kita semua dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawab profesi kita masing-masing.
Setelah
kami mendengar dan membaca Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan pada sidang tanggal 26 Februari
2015, terhadap Terdakwa: HENDRIK MEINDER NELWAN, Pekerjaan Tukang
Kayu, Umur 51 Tahun, Tempat Tinggal di Lingkungan VI, Kelurahan Tingkulu,
Kecamatan Wanea, Kota Manado, maka sekarang adalah giliran Kami Penasihat Hukum
Terdakwa untuk memberikan pendapat mengenai apakah surat dakwaan Jaksa Penuntut
Umum ini telah memenuhi azas dan ketentuan hukum untuk mendudukkan MEINDER HENDRIK NELWAN sebagai Terdakwa
dan sekaligus menjadi dasar pedoman
untuk memeriksa dalam persidangan nanti, yakni untuk menentukan apakah Ia telah
melakukan tindak pidanan sebagaimana dalam uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum Terdakwa telah didakwa melakukan “Perbuatan
dengan sengaja memakai suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang
kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu yang isinya tidak sejati atau
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu yang dapat menimbulkan kerugian”
sehingga di dakwa dengan dakwaan Primair melanggar Pasal 266 ayat (2)
KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dakwaan
Subsidair, Kesatu : melanggar Pasal 263 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat
1 ke-1 KUHP, Kedua : melanggar Pasal 263
ayat (2) KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, Lebih Subsidair melanggar
Pasal 263 ayat (2) KUHP Jo. Pasal 56 ayat 2 KUHP.
Persidangan yang terhormat,
Dengan
dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum seperti diatas, maka sangatlah
dimungkinkan Majelis Hakim Yang Mulia akan menghukum Terdakwa dan sangat sulit
dimungkinkan untuk membebaskan Terdakwa dari dakwaan-dakwaan yang berlapis
diatas, sehingga dilihat dari ancaman hukumannya, maka Terdakwa dimungkinkan
untuk dihukum oleh Majelis Hakim Yang Mulia dengan ancaman hukaman maksimal 7 tahun
atau 6 tahun (vide Pasal 266 Jo. Pasal
263 KUHP), jadi dilihat dari perspektif ancaman hukumannya ini adalah suatu
perbuatan pidana yang sangat serius yang dilakukan oleh Terdakwa. Sebab olah-olah
digambarkan dengan demikian hebatnya Terdakwa yang pekerjaannya hanya tukang
kayu dan hanya mengenyam pendidikan Sekolah Menegah Pertama (SMP), telah digambarkan oleh Jaksa Penuntut Umum
seperti seorang ahli mampu membuat atau
menyuruh membuat “suatu akta” yang seolah-olah isinya tidak sejati, seolah-olah
benar dan tidak palsu, yang dapat menimbulkan kerugian materi bagi PT. PLN
Persero (Pusat) di Jakarta Cq. Kepala
PT. PLN Persero Wilayah VII Sulutteng di Manado Cq. Kepala PT. PLN Persero Wilayah
VII Sektor Minahasa di Tondano Cq. Kepala PLTA Tonsea Lama, Kecamatan Air
Madidi, Kabupaten Minahasa.
Persidangan yang Kami muliakan,
Dengan
gambaran singkat yang Kami uraikan diatas, salah satu pokus utama yang Kami
harapkan tidak lain dan tidak bukan agar sejak awal persidangan yang dipimpin
Oleh Majelis Hakim Yang Mulia ini dapat dengan cermat dan bijaksana bisa
menggali dan menemukan hukum yang seadil-adilnya bagi Terdakwa sebagai perwakilan dari ahli 3 (tiga) orang waris
Penggugat dari perkara ini ( 2 orang sudah meninggal dunia) yang telah
memperjuangkan kepentingan hukum semua
ahli waris dari alm. Hendrik Nelwan
dari tahun 2001 hingga sampai saat ini yang tidak ada ujungnya, karena pokok
perkara perdata “kepemilikan” di Pengadilan Negeri sampai putusan Peninjauan Kembali
telah dimenangkan oleh ahli waris, demikian pula perlawanan eksekusi dari
Pengadilan Negeri sampai Peninjauan Hukum Kembali di Mahkamah Agung RI juga telah
dimenangkan oleh ahli waris. Dengan paparan ini Kita berharap Majelis Hakim
Yang Mulia dapat melihat, menelaah, dengan seksama dan bijaksana dan
selanjutnya kelak dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam perkara
pidana ini, dengan catatan eksepsi Kami sebagai berikut:
1. Keberatan Pertama Surat
Dakwaan Obscuur Libel, Tidak Jelas Dan
Kabur
Majelis
Hakim Yang Terhormat,
Bahwa
secara konkrit syarat materil dalam menyusun Surat Dakwaan ditentukan dalam Pasal
143 ayat 2 hurup b KUHAP yang
berbunyi;”....uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana
yang didakwa dengan menyebutkan waktu dan tempat tempat pidana itu
dilakukan...”. Bahwa apabila waktu dan tempat pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa tidak cermat, tidak jelas, tidak lengkap , maka menurut ketentuan
Pasal 143 ayat (3) KUHAP , dakwaan Jaksa Penuntut Umum batal demi hukum, yang
bunyi lengkapnya sebagai berikut”.....3. Surat dakwaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf b batal demi hukum....”.
Dalam
surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perkara : PDM-16/M.
Ndo/Ep.2/02/2015, tanggal 03 Februari 2015, catatan Kami Penasihat Hukum
Terdakwa terdapat hal-hal yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap
sebagai berikut:
1) Dalam
surat dakwaan pada halaman 2 baris ke-7 tertulis”.....tanah dilokasi yang
dkuasai oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) PLN Persero adalah milik
orang tua Terdakwa...”
2) Dalam
surat dakwaan pada halaman 2 baris ke- 32 tertulis “....untuk mengetahui apakah
hukum tua pada tahun 1920 yang bertanda
tangan berhak untuk membuat arsip statuta objek dan konteks objek.....”.
3) Dalam
surat dakwaan pada halaman 3 baris ke-12 tertulis “....UU No. 5 Tahun 1960
Tentang Pertanahan atau Agraria dan...PP No. 24 Tahun 1979...”
Dengan
demikian berdasarkan ketiga alasan-alasan yang diuraikan diatas dalam surat
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang Kami konstatir terdapat kesalahan atau kekeliruan
mendudukkan legal standing Terdakwa dan dihubungkan dengan objek perkara tanah aquo
(tanah yang dikuasai PLTA Tonsea Lama) yang menyebutkan milik orang tua Terdakwa, maka dakwaan Jaksa Penuntut
Umum yang demikian telah memasuki kualifikasi “uraian tidak cermat, tidak
jelas, dan tidak lengkap. Karena posisi hukum Terdakwa adalah ahli
waris dari alm. Hendrik Nelwan yaitu “nenek
dari Terdakwa” bukan orang tua Terdakwa.
Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum pada point kedua diatas menyebutkan
hukum tua tahun 1920 tanpa dapat menyebutkan “siapa nama pejabat hukum tua saat
itu”, demikian pula pada point ketiga yang keliru menuliskan UU No.5 Tahun 1960
Tentang Pertanahan atau Agraria, yang seharusnya/yang benar adalah UU Pokok Agraria, serta yang keliru
menyatakan PP No. 24 Tahun 1979, yang seharusnya/yang benar adalah PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Maka dengan adanya kekeliruan-kekeliruan dalam menuliskan norma sebuah Undang-undang
atau Peraturan Hukum adalah merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat ditolerir,
sehingga dengan demikian dakwaan Jaksa Penuntut Umum ini pula sama artinya
telah memasuki kualifikasi uraian tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap
yang menjadi alasan Surat Dakwaan batal demi hukum sebagaimana yang ditentukan
oleh Pasal 143 ayat 3 KUHAP tersebut diatas.[1]
2. Keberatan Kedua, Surat Dakwaan
Tidak Mencerminkan Syarat Materil
Tidak
ada persesuain antara Uraian dakwaan dengan Pasal yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum. Hal ini dapat lihat dari uraian dakwaan pada halaman 1 dan
halaman 2 pada baris kalimat terakhir yang diuraiakan dengan kalimat..”bahwa
dalam proses persidangan perkara perdata tersebut Terdakwa Hendrik Meinder
Nelwan bersama-sama dengan Pangemanan Nelwan dan Jantje Nelwan Korompis memberikan keterangan dan menyatakan bahwa
mereka adalah sebagai ahli waris atas kepemilikan tanah dilokasi tersebut, sehingga
untuk mendukung pembuktian atas hal tersebut Terdakwa Hendrik Meinder Nelwan
mengajukan bukti berupa Surat Garisan Tanah dari pendoedoek Tonsea Lama Art 6
dari Minahasa Landrete Regeling 11 September 1920 dengan nomor register 829
Folio 80 atas nama Hendrik Nelwan tahun
1920...”, dikaitkan dengan dakwaan melanggar Pasal 266 ayat 2 KUHP Jo Pasal 263
ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat ke-1
dakwaan seterusnya.
Maka
uraian dakwaan diatas jika dicermati dengan seksama dan cermat tidak ada
persesuaian dengan isi Pasal- pasal dakwaan diatas, atau dengan kata lain tidak
jelas baik wujudnya maupun kaitannya atau hubungannya dengan peristiwa apa yang
didakwakan. Salah satu bukti Pasal 266 ayat 2 KUHP yang didakwakan kepada
Terdakwa harus dapat digambarkan dulu “siapa yang membuat isi akta itu seolah-olah
palsu, atau siapa yang menyuruh memasukkan suatu keterangan kedalam akta itu
seolah-olah palsu alias tidak benar”. Rumusan ini seharusnya
tergambarkan dalam isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum, apakah itu perbuatan Terdakwa
atau orang lain??, apakah itu perbuatan orang lain membuat keterangan palsu
dalam suatu akta otentik dan diketehui Terdakwa dan digunakan oleh Terdakwa??,
Karena tegas ketentuan Pasal 266 ayat 1 KUHP yang isinya mengatakan; “ Barang siapa
menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai
sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,.....akta itu
seolah olah sesuai dengan kebenaran....dst”, kemudian dalam ayat 2 mengatakan “....barang siapa memakai akta
tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran...dst”.
Sehingga
jika unsur perbuatan membuat suatu keterangan dalam suatu akta seolah-olah
palsu tidak diketahui oleh Terdakwa siapa yang membuatnya, atau jika Terdakwa tahu
keterangan dalam akta itu seolah-olah palsu atau isinya tidak benar dan
digunakan oleh Terdakwa tidak dapat diuraikan dalam dakwaan Jaksa Penuntut
Umum, bagaimana mungkin Terdakwa dapat dikenakan melanggar Pasal 266 ayat 2
KUHP??. Bahkan lebih lanjut bagaimana mungkin Pasal 55 ayat 1 KUHP dikaitkan
dalam Pasal 266 ayat 2 KUHP diatas kalau dalam dakwaan tidak teruraikan dengan
jelas dan cermat siapa yang membuat akta autentik tersebut? Dan siapa pula yang
menyuruh membuatkan isi akte tersebut??kapan perbuatan tersebut dibuat dalam
akta autentik?. Dengan penjelasan yang demikian jika tidak dapat digambarkan mereka
yang melakukan itu siapa, atau mereka yang menyuruh melakukan itu siapa, dan
yang turut melakukan perbuatan itu siapa, maka surat dakwaan ini telah memenuhi
kekurangan syarat materil, mengakibatkan
surat dakwaan batal demi hukum. [2]
Menurut
Jonkers yang harus dimuat dalam surat dakwaan ialah selain dari perbuatan yang
sungguh-sungguh dilakukan bertentangan dengan hukum pidana juga harus memuat
unsur-unsur juridis kejahatan yang bersangkutan. [3]
3. Kebertan Ketiga, Peristiwa Yang Di
Dakwakan Jaksa Penuntut Umum Tidak Termasuk Ruang Lingkup Pidana.
Bahwa
dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dipersoalkan dan didalilkan adalah mengenai Surat Garisan Tanah dari
pendoedoek Tonsea Lama Art 6 dari Minahasa Landrete Regeling 11 September 1920
dengan nomor register 829 Folio 80 atas nama
Hendrik Nelwan tahun 1920, yang diragukan atau seolah-olah tidak benar
sesuai hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Mabes Polri Nomor LAB : 1218/DTF/2014,
tanggal 12 Mei 2014, ditambah lagi dengan alasan adanya data Arsip 1920 mengenai keterangan dari Gementearchief
Rotterdam (Kantor Arsip Kota Praja Rotterdam) pada tanggal 4 Juni 2013, adalah
bukan menjadi alasan atau persoalan ruang lingkup Pidana. Mengapa demikian? Karena
menyangkut alasan register 829 Folio 80
atas nama Hendrik Nelwan tahun 1920, dan
argumen telah dibayar ke Dewan Minahasa
sebagai dalil Pihak PT. PLN (Pusat) Persero di Tingkat Pengadilan Negeri
Manado, akan tetapi kenyataannya gugatan perdata Terdakwa dikabulkan sesuai
putusan No. 348/Pdt.G/2001/PN. Mdo, tanggal 14 Mei 2002 Jo. Putusan Pengadilan
Tinggi Manado No.196/Pdt/2002/PT. Mdo,
tanggal 27 Feb 2003 Jo. Putusan MA Reg. No. 2291 K/Pdt/2003 tanggal 15
April 2004, Jo. Putusan Peninjauan Kembali No. 91/PK/Pdt/2007 tanggal 19 Juni
2007, yang mana gugatan perdata Terdakwa tidak pernah kalah disemua tingkatan
peradilan sampai di tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI.
Dengan
demikian sengketa kepemilikan tanah warisan ahli waris Alm. Hendrik Nelwan yang
diajukan oleh ahli warisnya yang diwakili oleh Para Ahli Waris salah satu
Terdakwa telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (inkract). Sehingga saat
Terdakwa mengajukan penetapan eksekusi timbulah perlawanan dari Pelawan (PT.
PLN (Pusat) Persero di Pengadilan Negeri Mando dengan dalil-dalil yang sama
menyangkut register ahli waris diatas, Perlawanan Pelawan ditolak oleh
Pengadilan Negeri Manado sesuai putusan No. 272/Pdt.G/2009/PN. Mdo, tanggal 10
Desember 2010, dikuatkan lagi oleh putusan Pengadilan Tinggi Manado No.
10/Pdt/2011/PT. Mdo, tanggal 8 Maret 2011, dikuatkan lagi oleh Putusan Kasasi
MA No. 3080 K/Pdt/2011, tanggal 12 September 2012. Kemudian saat Pihak PT. PLN
(Pusat) Persero mengajukan perlawanan dalam tahap Peninjauan Kembali telah
diajukan alasan-alasan hukum adanya bukti baru berupa novum yaitu hasil
pemeriksaan Laboratorium Forensik Mabes Polri Nomor LAB : 1218/DTF/2014,
tanggal 12 Mei 2014, ditambah lagi dengan alasan adanya data Arsip 1920 mengenai keterangan dari Gementearchief
Rotterdam (Kantor Arsip Kota Praja Rotterdam) pada tanggal 4 Juni 2013, yang
telah diterima oleh Mahkamah Agung RI pada 8 Oktober 2014 dan atas PK ini telah diputus
oleh Mahkamah Agung RI pada tanggal 14
Januari 2015 dengan menolak perlawanan pihak PT. PLN (Pusat) Persero. Sehingga
dengan demikian maka novum diatas PK telah ditolak oleh Mahkamah Agung RI.
Maka
dengan demikian jelaslah sampai 2 (dua) kali putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung yang dimenangkan oleh ahli waris Alm. Hendrik Nelwan melalui
gugatan Terdakwa jelas sudah tidak terbantahkan lagi kekuatan hukum hak-hak
ahli waris yang harus dibayar oleh PT. PLN (Pusat) Persero melalui eksekusi
riil pembayaran sesuai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
4. Keberatan
Ke empat, Adanya Laporan Pidana Atas Register Tanah Alm. Hendrik Nelwan di
Polda Sulut ditetapkan dengan SP3.
Bahwa sebelumnya telah ada Laporan Polisis No.
Pol : LP/249/XII/2009, tanggal 17 Desember 2009, menyangkut alasan register 829 Folio 80 atas nama almarhum
Hendrik Nelwan tahun 1920, kepada Terdakwa sebagai Terlapor oleh Pelapor
saudara RONNY TUMENGKOL, yang laporannya
tidak ada bedanya dengan laporan pidana PT. PLN (Pusat) Persero di Polda Sulut,
akan tetapi oleh Polda Sulut pada tanggal 13 Oktober 2011 melalui Pemberitahuan
Perkembangan Penyidikan telah menghentikan laporan tersebut. Sehingga
menimbulkan pertanyaan besar mengapa laporan PT. PLN (Pusat) Persero diterima
oleh Polda dan bisa dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum sampai persidangan
saat ini? Pada hal selama pembuktian persidangan perdata tidak ada bukti
sehelai lembar pun kalau PT. PLN (Pusat)
Persero di Jakarta Cq. Kepala PT. PLN Persero Wilayah VII Sulutteng di Manado
Cq. Kepala PT. PLN Persero Wilayah VII Sektor Minahasa di Tondano Cq. Kepala
PLTA Tonsea Lama, Kecamatan Air Madidi, Kabupaten Minahasa telah melepaskan hak
milik adat dari Almarhum Hendrik Nelwan, atau bukti lainnya.
Menyangkut
dalil dakwaan Jaksa Penuntut Umum dengan adanya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UU
Pokok Agraria dan PP. No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah perlu
dijelaskan bahwa Pasal 5 UU Pokok Agraria berbunyi;”Hukum agraria yang berlaku
atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum nasional dan negara...dst”. Sehingga dengan demikian eksistensi
tanah hak milik adat di Minahasa (dikenal dengan tanah pasini) diakui dan
dilindungi oleh UU Pokok Agraria, walaupun itu belum didaftarkan haknya sesuai
PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. Sehingga dengan demikian hak milik adat
almarhum Hendrik Nelwan yang terdaftar dalam buku register 1920, dengan alasan
karena Indonesia telah mempunyai pemerintahan yang sah sejak tanggal 17 Agustus
1945 bukan menjadi alasan hilangnya hak milit adat nenek Terdakwa yang diwarisi
oleh ahli warisnya, justru sebaliknya adanya pengakuan dan perlindungan negara
terhadap hak-hak milik adat warga negaranya yang telah dimiliki sejak Jaman
Kolonial Belanda, Jaman Penjajahan Jepang sampai berdirinya negara NKRI ini,
sehingga tidak dikenal azas nasionalisasi terhadap hak-hak milik penduduk
Indonesia asli.
II. KESIMPULAN
DAN PERMOHONAN
Majelis Hukim Yang Mulia,
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat,
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas
Kami Penasihat Hukum Terdakwa berkesimpulan sebagai berikut:
1. Menerima eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa
dengan alasan-alasannya.
2. Menyatakan bahwa Surat Dakwaan ternyata tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP yaitu
“tidak disusun secara cermat, jelas dan lengkap karena rumusannya tidak akurat,
meragukan dan kontradiktif.
3. Menyatakan bahwa peristiwa yang didakwakan
oleh Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya adalah peristiwa perdata dan
tidak mengandung muatan tindak pidana.
4. Menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum Nomor Reg.
Perkara:PDM-16/M.Ndo/Ep.2/02/2015, tanggal 03 Februari 2015 yang dibacakan
dalam sidang tanggal 26 Februari 2015 adalah batal demi hukum.
5. Mengembalikan berkas perkara kepada Jaksa
Penuntut Umum.
6. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan,
kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai orang yang tidak bersalah yang telah
dicemarkan nama baiknya oleh adanya penuntutan Jaksa Penuntut Umum ini.
Selanjutnya
kami serahkan nasib Terdakwa kepada Majelis Hakim Yang Mulia.
Hormat
Kami
PEMBELA
TERDAKWA
Law
Office “Gracia”.
ALISATI
SIREGA, SH.
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
PASCA
SARJANA (S-2)
ILMU
HUKUM
TUGAS :
PERBANDINGAN METODE PENELITIAN HUKUM
O
l e h :
ALISATI
SIREGAR.
NIM
: 7773133179.
MATA
KULIAH METODE PENELITIAN HUKUM
DOSEN
: DR. BENNY IRAWAN, SH. MH. M. Si.
TAHUN
2013
BAB. I.
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang.
Metode Penelitian Hukum
sangat diperlukan bagi seorang mahasiswa hukum sejak seorang mulai belajar ilmu
hukum baik di jenjang S-1, S-2 sampai jenjang S-3. Metode penelitian hukum
berbeda dari metode-metode peniltian sosial lainnya, walaupun ilmu hukum
merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial.
Dalam paper ini penulis
akan membandingkan dua buku mata kuliah Metode Penelitian Hukum yaitu “Metode
Penelitian Hukum” karangan Bapak Dr. Benny Irawan, SH, MH, M.Si (dosen penulis)
dengan buku lain yang berjudul “Metode Penelitian Hukum” karangan Prof. Dr.
Jamal Wiwoho, SH, M.Hum.
Dengan membandingkan
kedua buku ilmiah ini, maka diharapkan penulis sebagai mahasiswa Pasca Sarjana
Hukum akan lebih siap nantinya dalam mempersiapkan tugas akhirnya untuk membuat
tesis yang tentu akan lebih berkualitas sebagai suatu karya ilmiah.
Sebagai mahasiswa Pasca
Sarjana dalam mengalisa kedua karya ilmiah diatas tentu diharapkan tidak hanya
mampu menganalisa dan memahami isi kedua karya ilmiah tersebut, tetapi lebih
dari situ yaitu mampu menerapkan dan mengembangkannya dalam praktek pembuatan
karya ilmiah tesis, bahkan untuk disertasi setelah menamatkan Pasca Sarjana
untuk melanjutkannya ke jenjang Doktoral.
BAB.II.
PERSAMAAN.
Sebelum
Penulis membandingkan isi kedua buku diatas, adalah lebih bijaksana jika
penulis lebih dahulu memahami persamaannya, sehingga nanti akan dapat lebih
memahami dimana letak perbedaannya. Sepintas penulis mencermati bahwa persamaan
buku itu pertama-tama terletak pada judulnya yang membuat judul “Metode Penelitian Hukum”.
Selanjutnya persamaan lain dari sudut materinya (substansinya) bahwa kedua
karangan diatas adalah berisi pengetahuan yang isinya mengarahkan para mahasiswa-mahasiswa
hukum dalam praktek-praktek penyusunan karya ilimiah hukum melalui panduan yang
sudah diajarkan dalam mata kuliah penelitian hukum.
Penelitian
hukum bukan hanya berguna bagi kalangan praktisi-praktisi hukum, tetapi lebih
berguna bagi kalangan-kalangan akademisi hukum untuk mengembangkan ilmu-ilmu
hukum yang sudah ada, akan tetapi juga meneliti semua persoalan-persoalan hukum
guna dapat menyelesaikan masalah-masalahnya dalam praktek.
BAB.III.
PERBEDAAN-PERBEDAANNYA.
1.
Analisa Dari Aspek Definisi.
Dalam Meteode Penelitian Hukum yang
dibuat oleh Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH, M. Hum, tidak memaparkan terlebih
dahulu apa pengertian atau definisi Metode Penelitian Hukum, sehingga bagi
orang yang mempelajari penelitian hukum sudah masuk lebih awal kedalam alam
pikiran kebingungan, jika seorang yang belajar tentang metode penelitian hukum
saja definisi atau pengertiannya belum digambarkan secara jelas dan gamblang,
maka seorang yang mempelajari isi buku tersebut sejak awal sudah di alam pikiran
kebingungan, sehinga semakin melangkah mempelajari materi-materi lanjutannya, maka
sudah akan menghantar orang yang
mempelajarinya masuk di alam pikiran gelap gulita. Berbeda halnya dengan buku Dr. Benny, SH. MH,
M.Sie, yang sejak awal telah memberikan pengertian/definisi tentang metode
penelitian hukum yang jelas dari berbagai pakar-pakar hukum, sehingga dalam
tahap awal melangkah mempelajari bukunya sudah mendapatkan pengertian yang
sederhana untuk mengenal, memahami dan mengerti
sehingga akan menghantarkan kita untuk masuk atau mengahrungi lebih dalam lagi
kedalam materinya.
2.
Analisa Dari Sudut Content
(isinya).
Dari sejak awal buku Dr. Benny, SH, MH,
M.Si,sudah pokus membicarakan penelitia hukum dengan caranya dalam memberikan
contoh-contoh sederhana sudah berbicara menyangkut hukum, berbeda dengan buku
Prof. Dr. Jamal Wiwoho, antaralain;
Ø Telah
digambarkan aspek praktis dan akademis penelitian hukum, sedangkan di dalam
bukum Prof. Dr. Jamal Wiwoho masih bersifat teori saja secara umum.
Ø Dari
halaman 1 ampai halam 24 buku Prof. Dr. Jamal Wiwoho bila kita cermati Judulnya
Penelitian Hukum akan tetapi isinya menyangkut penelitian sosial yang bersifat
umum, dari halaman 24 sampai 38 baru topiknya masuk membicarakan masalah hukum
yaitu di bab “Perbedaan penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif.
Ø Dalam
buku Penelitian Hukum DR. Benny, SH. MH, M.Si dari halaman 1 sampai akhir telah
membicarakan penelitian hukum dalam kaitannya dengan hukum sehingga menjadikan
kita yang mempelajari diharapkan paham dalam penerapannya.
3.
Analisa Dari Sudut Kegunaan
Mempelajari Metode Penelitian Hukum.
Setiap orang berlajar
sesuatu tentu ada mamfaatnya, tidak ujuk-ujuk begitu saja mempelajari sesuatu
tanpa ada kegunaanya atau mamfaatnya. Dengan mengetahui mamfaat dari mempejarai
Metode Penelitian Hukum, maka mahasiswa atau siapapun yang mempelajarinya sudah
akan mendapatkan gambaran yang jelas pengetahuan apa yang akan diperoleh untuk
kegunaan teori maupun prakteknya.
Dalam buku DR. Benny
Irawan, SH, MH, M.Si dijelaskan antaralain;
Ø Dijelaskan
apa hubungan Ilmu dan Penelitian, yang mana Ilmu adalah pengetahuan yang
sistematis dan terorganisasi, hasil sama dengan ilmu, dan penelitian
digambarkan sama dengan proses, sedangkan di dalam buku Prof. Dr. Jamal Wiwoho,
tidak diuraikan secara gamblang hubungan Ilmu dan Penelitian.
Ø Dalam
Buku DR. Benny Irawan dijelaskan Ilmu dan Penelitian sama-sama proses untuk
menghasilkan kebenaran, sedangkan dalam buku Prof. Dr. Jamal Wiwoho dikatakan
Ilmu sebagai aktivitas penelitian yang secara teleologis untuk mencapai
kebenaran, untuk memperoleh pemahaman, untuk memberikan penjelasan serta untuk
melakukan penerapan dengan melalui peramalan (prediksi) atau pengendalian.
Ø Dalam
Buku Dr. Benny Irawan dan Prof. Dr. Jamal Wiwoho, dijelaskan hampir mirif bahwa
tujuan ilmu dan penelitian adalah untuk mencari kebenaran, akan tetapi sesuatu
bisa diterima sebagai sesuatu kebenaran hanya ada di buku DR. Benny Irawan yang
membuat 3 (tiga) tolak ukur secara umum untuk menerima kebenaran antaralain;
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataannya yang dianggap benar
(Pendapat. M. Nasir), bersifat koresponden yautu pernyataan yang dianggap benar
jika materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berhubungan
atau mempunyai korepondensi/korelasi dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Betrand Russel), serta bersifat pragmatis yaitu pernyataan dipercaya
benar krn mempunyai sifat fungsional dalam kehidupan praktis (Pierce C.H. Mead,
LC Lewis, John Dewey).
Ø Menyangkut
proposisi, Dalil, Teori dan fakta hanya ada penjabaran di buku DR. Benny
Irawan, sedangkan di dalam buku Prof. Dr. Jamal Wiwoho hal ini tidak dibahas
olehnya.
BAB. IV.
KESIMPULAN.
Setelah
mempelajari persamaan dan secara khusus melakukan perbandingan atas kedua buku
“Metode Penelitian Hukum” dari kedua pengarang diatas, kesimpulan penulis
sangat sederhana bahwa dimana kedua buktu pelajaran Metode Penelitian Hukum”
tersebut saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.
Metode
Penelitian Hukum dari Dr. Benny Irawan, SH, MH, M.Si merupakan penjabaran yang
melengkapi secara mendalam atas buku Penelitian Hukum karangan Prof. Dr. Jamal
Wiwoho, SH, MH.
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
PASCA
SARJANA (S-2)
Tugas
Ujian Tengah Semester Tahun 2014
Pasca
Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Program
Studi : Ilmu Hukum
Mata
Kuliah : Kapita Selekta Dalam Hukum
Agraria
Semester : III . Tahun 2014.
Mahasiswa : Alisati Siregar.
NIM
: 7773133179
Dosen : Prof. DR. H. Suparman
Usman, SH.
I.
RUANG LINGKUP PENGERTIAN HUKUM AGRARIA DAN BIROKRASI YANG MENANGANI
KEAGRARIAAN.
A. Pengertian
Agraria
Istilah agrarian berasal dari kata
Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger
(Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin)
berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah
untuk pertanian.[1] Dalam
kamus Black’s Lawa Dictionary, disebutkan bahwa arti agraria adalah “relating
to land, or to a division or distribution of land as an agrarian law’s
(1991:3). Kata agraria sebagai kata sifat yaitu “agraris” dipergunakan untuk membedakan
corak kehidupan (ekonomi) masyarakat pertanian
dipedesaan dari masyarakat non agraris (perdagangan dan industri)
diperkotaan.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah
keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang
mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh
wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan
tersebut. [2]
Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian
dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara
orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas
mengurus masalah agraria. Gouwgioksiong sebagaimana dikutif
Boedi Harsono dan dikutif Prof. Dr. Suparman memberikan isi yang lebih luas
pada pengertian hukum agraria dari hukum tanah. Dikatakan bahwa Hukum Agraria memberi banyak keluasan
untuk mencakup pula di dalamnya beberapa hal yang mempunyai hubungan dengan
tanah tetapi tidak melulu dengan tanah.[3]
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi :
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya
pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam
arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1)
Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas tanah dalam arti permukaan bumi
2)
Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3) Hukum
pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan
4) Hukum
perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung
di dalam air
5) Hukum
kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan
6)
Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang
dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan
pengertian hukum agraria dalam arti
sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur
hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan
Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut
Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di
atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain
yang lebih tinggi. Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24
September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup
agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun
penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya .[4]
Boedi
Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang
hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang
masing-masaing mengatur hak-hak pengusaan sumber –sumber daya alam tertentu
yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidag hukum tersebut
terdiri atas:
1)
Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
2)
Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas air.
3)
Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Petambangan.
4)
Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan
atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5)
Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam
Ruang Angkasa, mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi
dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian,
pertambangan, perikanan, kehutanan dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa.
B. Ruang Lingkup Hukum Agraria
Ruang
lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya
agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup
agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat
(4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah tanah.
2. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat
(5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di
laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974
tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat
di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terfapat di atas
maupun yang terdapat di laut.
3. Ruang
Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut
Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di
atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA,
ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang
bersangkutan dengan itu.
4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsure-unsur kimia, mineral, bijih-bijih dan
segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Pengertian agraria dalam arti sempit
hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian
agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka
dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak.
Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti
luas. Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi
dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian,
pertambangan, perikanan, kehutanan dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur
dalam ruang angkasa.
C.
Pembidangan dan Pokok Bahasan hukum Agraria
Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu:
Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu:
1. Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak
perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang
diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (objeknya).
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan), pewarisan.
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan), pewarisan.
2. Hukum
Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan
hukum yang member wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum
Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul. Contoh:
pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah. Sebelum
berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5
perangkat hukum, yaitu:
3. Hukum
Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah
Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah
yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang
selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
4. Hukum
Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah
Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber
kepada Boergerlijk Wetboek (BW).
5. Hukum
Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari
peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik
agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa.
6. Hukum
Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah
Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di
daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan
tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.
7. Hukum
Agraria Antar Golongan
Hukum yang digunakan untuk sengketa
(kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku
(Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada
hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka,
atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan
masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria
Administratif yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit
tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria
Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.
Dilihat dari
pokok bahasannya (objeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Hukum Agraria dalam arti sempit
Haknya membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.
Haknya membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.
2.
Hukum Agraria dalam arti luas
Materi yang dibahas yaitu:
Materi yang dibahas yaitu:
- Hukum Pertambangan, dalam
kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.
- Hukum Kehutanan, dalam
kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan
- Hukum Pengairan, dalam
kaitannya dengan Hak Guna Air
- Hukum Ruang Angkasa, dalam
kaitannya dengan Hak ruang Angkasa
- Hukum Lingkungan Hidup, dalam
kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform
D.
Pengertian Hukum Tanah
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan hukum yang konkret.
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan hukum yang konkret.
Objek Hukum
Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas tanah
adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi
pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang
boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
E. Birokrasi Yang Menangani Keagrarian
1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional
Badan pertanahan nasional adalah suatu lembaga non
departemen ynag dibentuk pada tanggal 19 juli 1998 berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia nomor
26 tahun 1998. Badan ini
merupakan peningkatan dari direktorat
jenderal agraria departemen.
Peningkatan status tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tanah sudah tidak
lagi merupakan masalah agraria yang selama ini lazimnya di
identifikasikan sebagai pertanahan, namun tanah setelah
berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai
dimensi pertahanan dan keamanan.
Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional dan sektoral.
Tugas yang demikian luas tersebut terlalu besar untuk ditangani suatu direktorat jenderal pada suatu departemen, oleh karena itu diperlukan
suatu badan yang lebih tinggi dibawah presiden
agar dapat melaksanakan tugasnya dengan otoritas seimbang.
2. Kedudukan
Badan Pertanahan Nasional
Untuk menyelenggarakan tugas dan
fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, terakhir dengan Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dibentuk Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi di daerah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten
atau Kota di daerah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal
Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/ Kota yang berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Kantor Pertanahan dipimpin oleh
seorang kepala yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.
3. Tugas Badan pertanahan
Nasional
Sesuai dengan
ketentuan Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, ditentukan bahwa
pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional,
yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang
pertanahan.
Dalam rangka penyelenggaraan
pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, tugas
pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali
kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun
1997 atau Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada
pejabat lain. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di
wilayah Kabupaten atau Kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan
pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Untuk melaksanakan ketentuan di
atas, maka Kepala Badan Pertanahan berwenang untuk melakukan pendaftaran hak
dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan oleh
seseorang atau suatu badan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagian
wewenang pemberian hak atas tanah dilimpahkan kepada Kantor Badan Pertanahan
Propinsi maupun Kantor Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota, hal ini
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1999 tanggal 19 Februari 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Februari
1999.
Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsinya sebagai:
2. perumusan kebijakan
teknis di bidang pertanahan;
3. koordinasi
kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4. pembinaan dan
pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran
dan pemetaan di bidang pertanahan;
6. pelaksanaan
pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7. pengaturan dan
penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan
tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
9. penyiapan
administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama
dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan
pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan
lembaga-lembaga lain;
12.penyelenggaraan dan
pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat
di bidang pertanahan;
14.pengkajian dan penanganan
masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
15. penelitian dan
pengembangan di bidang pertanahan;
16. pendidikan, latihan dan
pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
17. pengelolaan data dan
informasi di bidang pertanahan;
18. pembinaan fungsional
lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
19. pembatalan dan
penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6
20. fungsi lain di bidang
pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
II. SEJARAH
PENYUSUNAN UU No.5 Tahun 1960 TENTANG UPPA.
A. Sebelum
Kemerdekaan Sampai Lahirnya UUPA
Sebelum
berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu :
a.
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat
b.
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.
Ad.a.
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat.
Pada masa
Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang mengatur masalah
pertanahan di Indonesia seperti:
1. Agrarische
Wet / Stb. No. 108 tahun 1870
2. Algemeen
Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875
3. Domeinverklaring
/ Stb. No. 118 tahun 1870
4. Domeinverklaring
untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874
5. Domeinverklaring
untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877
6. Koninlijk
Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun 1870
7. Ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai hypotheek.
Peraturan-peraturan
tersebut diatas dengan berlakunya ketentuan UUPA nomor 5 tahun 1960 maka
ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi
dengan cita-cita bangsa Indonesia yang begitu besar untuk meningkatkan taraf
hidup dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia khususnya bagi
petani penggarap. Agrariche Wet adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, opstal recht
dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan
bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas
tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat.
Oleh pemerintah
dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 dinyatakan bahwa semua
tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan KUH. Perdata (BW) harus dikonversi
kepada ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960. ini
menunjukkan bahwa dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1979 maka tidak ada lagi
tanah-tanah yang tunduk kepada KHU, Perdata (BW).
Ad.b.
Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.
Negara
Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer pulau pulau yang dihuni
berbagai suku, adat istiadat dan beragam agamanya hal ini merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat
memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau mengerja lahan yang
ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari lahan atau tanah
tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan keanekaragam suku
bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama
sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan
memiliki lahan-lahan tersebut.
Dengan
demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan
sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional. Menurut Prof. Budi Harsono menyebut bahwa
hukum adat disaneer.[5]
Soudargo gautama (Gouw Giok Siong) menyebut hukum adat yang di Retool. Namun oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional menyebutkan bahwa hukum adat diartikan sebagai
hukum adat Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan
Republik Indonesia yang disanasini mengandung
unsur agama. Dengan demikian didalam pelaksanaannya hingga saat ini belum ada ketentuan
bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pertanahan yang tunduk kepada ketentuan
hukum adat tidak keharusan untuk dikonversi kepada ketentuan-ketentuan yang
diatur didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960, namun adapun bukti hak yang telah
diterbit hanya merupakan alas hak untuk memperoleh hak-hak yang diatur didalam
ketentuan UUPA Nomor 5 tahun 1960.
Dalam
penyusunan dasar-dasar Hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 untuk
menggantikan ketentuan-ketentuan pertanahan warisan Hindia Belanda yaitu dengan
pembentukan “Panitia Agraria” yang berkedudukan di Jogjakarta yaitu disebut
“Panitia Jogja” yang dibentuk berdasarkan Penpres tanggal 21 Mei 1948 No. 16
yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” yang menjabat pada saat itu sebagai
Kepala bagian agraria Kementrian dalam negeri yang beranggotakan:
1. Badan
kementrian & Jawatan.
2. Anggota-anggota
Badan Pekerja KNIP yaitu yang mewakili organisasi tani.
3. Mewakili
organisasi tani dan buruh.
4. Wakil-wakil
dari serikat buruh pertanian.
Panitia
Jogja bertugas untuk :
Ø memberikan
pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal hukum pemerintahan.
Ø merancangkan
dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
Ø Serta
merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut
legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Pekerjaan
panitia Jogja dilaporkan pada panitia pemangku kerja dengan dengan No. 22/PA
yaitu mengenai asas-asas yang akan merupakan dasar hukum agraria yang baru
dengan usulan sbb :
1. Dilepaskannya
azas-azas domein dan adanya pengakuan hak ulayat
2. Diadakannya
peraturan yang memungkinkan diperbolehkannya hak perseorangan yang kuat yaitu
hak milik yang dapat dibebani dengan hak tanggungan, pemerintah hendaknya
jangan memaksakan hak yang lemah kepada yang lebih kuat, perkembangan tersebut.
3. Supaya
diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan negara lain terutama negara-negara
tetangga, supaya orang asing dapat/tidak memiliki hak milik atas tanah.
4. Perlu
diadakannya penetapan luas minimum tanah untukmenghindari perbedaan antara
petani kecil dengan petani yang memiliki tanah yang lebih.
5. luas
sehingga dapat memberikan tanah yang cukup bagi petani kecil sekalipun bisa
hidup sederhana dari hasil pertanian ditentukan jumlahnya minimal 2 hektar.
6. Perlu
adanya penetapan luas maksimum seseorang yang memiliki tanah pertanian yaitu 10
hektar.
Kemudian
setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan
Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan
kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin
Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat
politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian,
dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin
Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat
sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Adapun
usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria :
a.
mengadakan batasan minimal luas tanah
yaitu 2 hektar.
b.
ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
c.
yang dapat memiliki tanah untuk
pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
d.
Badan hukum tidak diberikan kesempatan
untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik,
hak pakai, hak usaha.
e.
Hak ulayat disetujui untuk diatur atas
kuasa UUD Dasar Pokok Agraria.
Pada
tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian
agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950. Dengan
dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh
Goenawan. Nampak
hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk membentuk pembaharuan hukum
agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia ini tidak dapat diharapkan
sebagaimana mestinya.
Maka
Kementrian Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada
tanggal 14 Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang
berkedudukan di Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat
pada saat itu sebagai Sekjend Kementrian Agraria.
Panitia
ini beranggotakan :
1. Pejabat-pejabat
dari berbagai kementrian dan jawatan
2. ahli-ahli
hukum adat
3. Wakil-wakil
dari beberapa organisasi tani
Panitia
ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancanga Undang-undang Pokok Agraria dalam
jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang
penting dalam RUUPA :
1. Dihapusnya
azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum
atau negara.
2. Asas
domein diganti dengan hak kekuasaan negara .
3. Dualisme
hukum agraria dihapuskan.
4. Hak-hak
atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi
5. Sosial,
hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
6. Hak
milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara
asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak
dibolehkan memiliki hak atas tanah.
7. Perlu
diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh
Badan Hukum.
8. Tanah
pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan
oleh pemiliknya.
9. Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.
Kemudian
ada beberapa perubahan mengenai sistematika rumusan serta beberapa pasal dari
panitia Soedarwo oleh “Panitia Agraria Soenaryo” diajukanlah pada Dewan Mentri
dalam sidangnya tanggal 1 April 1958. Rancangan tersebut diajukan pada DPR
sesuai dengan “Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/Hk/1958. Rancangan
UU ini kemudian dibicarakan dalam sidang Pleno DPR. Selanjutnya oleh DPR
dibahas dan oleh pihak DPR masih memandang perlu untuk mengumpulkan bahan yang
diperlukan oleh “Panitia Musyawarah DPR” dibentuklah suatu “Panitia Adhoc” yang
diketuai oleh “Mr. AM. Tambunan” dan oleh Prof. Notonegoro dan Prof. Wirjono
Projodikoro memberikan masukkan kepada panitia adhoc, namun konsep yang
diajukan tersebut ditarik kembali karena rancangan tersebut memakai dasar dari
UUDS 1950. Setelah negara RI kembali ke UUD 1945 dibentuklah RUUPA yang lebih
dasar dan sempurna yang disesuaikan dengan UUD 1945. Oleh karena itu Rancangan
Mentri Agraria Soejarwo disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tertanggal
22 Juli 1960.
Dalam
Kabinet pleno yang sidangnya tanggal 1 Agustus 1960 di dalam pengantar acting,
Ketua DPR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin yang sidang plenonya tanggal 9
September 1960 diketuai jalannya Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (RUUPA)
sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR maka titik berat pembicaraan diletakkan
pada pembahasan.
B. Pemberlakukan UU PA Di Beberapa Daerah Di Indonesia
Sesudah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya berlaku di Indonesia, yaitu
pada tanggal 24 September 1960. Pemberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1960 ini
ternyata tidak berlaku secara serentak di seluruh Wilayah NKRI. Pemberlakuaan
UUPA Di Indonesia, ternyata terdapat 2 (dua) Provinsi yang mengalami
keterlambatan dalam memberlakukan UUPA, yaitu Provinsi Irian Barat (Irian Jaya)
sekarang Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk Provinsi
DIY dan Irian Barat (Papua) didasarkan pada 2 (dua) peraturan
perundang-undangan yang berbeda.
Untuk Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 1 April 1984 berdasarkan Keputusan
Presiden RI Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan Sepenuhnya UU Nomor
5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Sedangkan untuk Provinsi Irian Barat (Irian
Jaya) sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat, pemberlakuan UUPA beserta
Peraturan pelaksanaanya baru terhitung pada tanggal 26 September 1971 berdasarkan
PMDN No. 8 Tahun 1971 tentang Pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Barat.
Pemberlakuan UUPA yang berbeda di kedua wilayah provinsi tersebut,
tentunya membawa konsekuensi hukum pula, yaitu sehubungan pelaksanaan ketentuan
Konversi baik itu yang menyangkut hak-hak barat maupun terhadap hak-hak adat
Indonesia.
Pertama, keterlambatan dalam pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Jaya (Papua) untuk
konversi Hak-hak Barat berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.59/DJA/1973
tertanggal 30 Mei 1973 ditentukan batas waktu pendaftaran konversi bekas hak
barat tanggal 26 September 1973, sedangkan batas akhir jangka waktu
berlakunya tanah bekas konversi hak barat maksimal tanggal 26 September 1991
(SK Mendagri Nomor SK. 21/DJA/1980 tanggal 15 April 1980). Sementara
untuk pelaksanaan Konversi bekas hak adat Indonesia yang didasarkan pada
Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 baru
dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 247
Tahun 1988.[6]
Kedua, keterlambatan pemberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1984 tertanggal 9 Mei 1984, dan
Kepres itu berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 1984 (Pasal 3 Kepres
Nomor 33 Tahun 1984). Pasal 1 Kepres tersebut menyatakan bahwa: UU Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan
pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi
DIY. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan, bahwa Pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keppres tersebut, diterbitkan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan
Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Yang kemudian
diikuti Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul
dan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta berdasarkan Kepmendagri Nomor 67 Tahun
1984.Yang untuk selanjutnya disusul beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri,
yaitu: 1) Kepmendagri Nomor 68 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan PMDN Nomor 6
Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah Di Propinsi
DIY; 2) Kepmendagri Nomor 69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan
Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda DIY Nomor 5
Tahun 1954 di Provinsi DIY; 3) Kepmendagri Nomor SK.590.34-746 tentang
Pengesahan Perda Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku
Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY; 4) Perda Provinsi DIY No. 3
Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di
Provinsi DIY.5) Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor:
590/1885 tertanggal 29 Oktober 1984 kepada Bupati Kepala Daerah Se-DIY tentang
diperlakukannya UUPA Secara Penuh di Privinsi DIY.
Secara garis
besar, Hukum Tanah yang berlaku sebelum diberlakukannya UU Nomor 5
Tahun 1960, berlaku 2 (dua) perangkat hukum tanah, yaitu hukum tanah
barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan
hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
Kedua
perangkat hukum tersebut, mempunyai asas yang berbeda dalam menyikapi
hubungan antara tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya. Hukum tanah
barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
berlaku ketentuan bahwa benda-benda atau bangunan menjadi bagian dari tanahnya
karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking atau asas accesie)
sebagaimana diatur dalam Pasal 500 KUHPerdata). Atas dasar asas itu, maka
pemilikan atas tanah menurut Hukum Barat itu meliputi juga pemilikan dari
bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di
atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH
Perdata), kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan menurut Hukum Adat
(dikenal dengan hak-hak atas tanah Adat Indonesia) tunduk pada asas Pemisahan
Horizontal (Horizontale Scheiding) antara tanah dengan bangunan atau
benda-benda yang ada atau berdiri di atasnya. Dengan kata lain, pihak yamg
membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.
Dengan kata lain “azas pelekatan”, bangunan dan
tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu kesatuan dengan tanah, jadi
merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Maka hak pemilikan sebidang
tanah tertentu dengan sendirinya, karena
hukum meliputi juga pemilikan semua bangunan dan seluruh tanaman yang ada
diatas tanah tersebut, kecuali ada perjanjian lain dengan pihak yang membangun
atau yang menanami tanaman tersebut.[7]
Hukum agraria nasional tidak menganut “azas pelekatan”
namun menganut “azas pemisahan horizontal” sebagaimana dianut oleh hukum adat.
Bangunan dan tanaman yang ada diatas sebidang tanah, bukan merupakan bagian dari tanah tersebut. Dengan demikian
hak milik atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan terhadap
bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.[8]
III. DASAR
HUKUM, MACAM-MACAM DAN TUGAS PPAT
A. Pengertian PPATPasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
1.
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut
PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2.
PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3.
PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan
Nasional yang ditunjuk karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan
membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas
Pemerintah tertentu.
4.
Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT
sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5.
Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus
disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta,
warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6.
Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar
pembuatan akta PPAT.
7.
Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang
diperbolehkan dalam satuan daerah kerja PPAT.
8.
Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan
kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9.
Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di
bidang agraria/pertanahan.
Apa yang diuraikan pada Pasal
1 ini, telah memperjelas tentang perngertian PPAT tersebut, sehingga kita
mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang disebut protokol PPAT yang
terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus dijilid, warkah pendukung
data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda dengan protokol
Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang berisikan nama,
alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan tanggal
akta dibuat. Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di
tempatkannya PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP
No.24/1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.1 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
No.640-679 tanggal 11 maret 1996.
Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun
1996 menyebutkan sebagai berikut :Pasal 1 : Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini. Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.
Formasi PPAT daerah tingkat II
berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir pada
tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun penetapannya, dan ditetapkan
kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya perubahan pada rumus dimaksud pada
diktum pertama ayat (2) untuk selama tiga tahun berikutnya dengan catatan
apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap dipergunakan. Formasi PPAT
dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat
selama masih diangkat sebagai PPAT. Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan
Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-nya telah mencapai jumlah sama atau
lebih dari formasi yang ditetapkan dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas
dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah
lain. Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT
tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor
pertanahan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah
kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan PPAT tentang
wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang
mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik
hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.
B. Pengangkatan Dan Pemberhentian
PPAT
Dalam Pasal 5 PP No.37/1998,
diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai berikut :
1)
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
2)
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
3)
Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan
masyarakat tertentu dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk
pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus ;
a)
Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan
akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
b)
Kepala
Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam
rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani
pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas reprositas
sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :
1. PPAT
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
2.
Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi
pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada
suatu desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di
kabupaten/kota dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan
ketentuan ini maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat
terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
3.
PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan
perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.
C. Pengangkatan, Pemberhentian dan
Daerah Kerja PPATDitentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, sebagai berikut : Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
1. berkewarganegaraan
Indonesia;
2. berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3.
berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat
keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
4.
belum pernah dihukum penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
5. sehat
jasmani dan rohani;
6.
lulusan program pendidikan spesialis notariat
atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan
tinggi;
7.
lulus
ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan
Nasional
Dengan adanya persyaratan dari
Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT, yaitu
telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan
khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula
lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor
Pertanahan Nasional. Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa
ujian ataupun yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT
tidak akan mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka
tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi
tersebut.
Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT
berhenti menjabat karena
a. meninggal
dunia; atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima)
tahun; atau
c.
diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau
melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota
Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d.
diberhentikan oleh Menteri sementara dalam ayat
(2) pasal tersebut menyebutkan; :
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
(2) Ayat 1 huruf c merupakan
suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian
diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang
bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di
kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai PPAT di tempat yang
bersangkutan sebagai notaris.
(3) Hal ini sebagai solusi
seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian sebagai notaris di kota lain
tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan
notarisnya dan usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan
sebagai notaris tidak dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja
sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai
PPAT.
D. Tugas Pokok dan Kewenangan PPATPasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :
1)
PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan
pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2) Perbuatan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Sementara Pasal 101 Peraturan
Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1)
pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para
pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang
dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi
dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai
kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan
dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
3)
PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak
yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan
akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah
melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of conveyance)
sebagaimana diatur dalam ayat (2).
Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
1)
Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di
dalam daerah kerjanya.
2)
PPAT khusus hanya berwenang membuat akta
mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Demikian
PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya
sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT
khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT
ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai
berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang
ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a.
lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap
disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan
b.
lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau
lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai
pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa
untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.
[1] Prof.
Dr. Suparman Usman, SH., “Hukum Agraria di Indonesia”, IAIN “Suhada” Press,
Serang, 2014, hlm.9
[2] Ibid
hlm, 11
[3] Ibid
hlm. 11
[4] Ibid
hlm. 10
5. Dibentuknya badan pertanahan
nasional dengan tugas membatu
presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik
berdasarkan uupa maupun peraturan
perundang-undangan lain yang meliputi peraturan-peraturan penggunaan,
pengguasaan, pendaftaran tanah, penggurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan
pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan
yang ditetapkan presiden.
6 ibid
[6] Bagir Manan, Perjalanan Aturan Peralihan UUD 1945, Varia peradilan No. 259 Juni
2007, hlm. 21-22.)
[8] Ibid,
hlm.79
Langganan:
Postingan (Atom)