Rabu, 10 Agustus 2016

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
PASCA SARJANA (S-2)



Tugas Ujian Tengah Semester Tahun 2014
Pasca Sarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Program Studi    : Ilmu Hukum
Mata Kuliah       : Kapita Selekta Dalam Hukum Agraria
Semester              : III . Tahun 2014.
Mahasiswa          : Alisati Siregar.
NIM                     : 7773133179
Dosen                   : Prof. DR. H. Suparman Usman, SH.


I.   RUANG LINGKUP PENGERTIAN HUKUM AGRARIA DAN BIROKRASI YANG MENANGANI KEAGRARIAAN.
A. Pengertian Agraria
Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.[1] Dalam kamus Black’s Lawa Dictionary, disebutkan bahwa arti agraria adalah “relating to land, or to a division or distribution of land as an agrarian law’s (1991:3).  Kata agraria  sebagai kata sifat  yaitu “agraris” dipergunakan untuk membedakan corak kehidupan (ekonomi) masyarakat pertanian  dipedesaan dari masyarakat non agraris (perdagangan dan industri) diperkotaan.
Subekti dan Tjitro Subono, hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan yang hukum perdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada huungan tersebut. [2] Prof. E. Utrecht, S.H. menyatakan bahwa hukum agraria adalah menjadai bagian dari hukum tata usaha negaram karena mengkaji hubungan-hubungan hukum antara orang, bumi, air dan ruang angkasa yang meliatakan pejabat yang bertugas mengurus masalah agraria. Gouwgioksiong sebagaimana dikutif Boedi Harsono dan dikutif Prof. Dr. Suparman memberikan isi yang lebih luas pada pengertian hukum agraria dari hukum tanah. Dikatakan  bahwa Hukum Agraria memberi banyak keluasan untuk mencakup pula di dalamnya beberapa hal yang mempunyai hubungan dengan tanah tetapi tidak melulu dengan tanah.[3] Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUPA, maka sasaran Hukum Agraria meliputi : bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana lazimnya disebut sumber daya alam. Oleh karenanya pengertian hukum agraria menurut UUPA memiliki pengertian hukum agraria dalam arti luas, yang merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi :
1)      Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi
2)      Hukum air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air
3)      Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan
4)      Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air
5)      Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan
6)      Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam  ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.
Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud tanah di sini adalah sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UUPA, adalah permukaan tanah, yang dalam penggunaannya menurut Pasal 4 ayat (2), meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa, yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunan tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang lebih tinggi. Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya .[4]
Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masaing mengatur hak-hak pengusaan sumber –sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidag hukum tersebut terdiri atas:
1)      Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
2)      Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.
3)      Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Petambangan.
4)      Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air.
5)      Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa,  mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 UUPA.
Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian, pertambangan, perikanan, kehutanan dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
B.  Ruang Lingkup Hukum Agraria
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.  Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah tanah.
2.   Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terfapat di atas maupun yang terdapat di laut.
3.   Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48 UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
4.    Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsure-unsur kimia, mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas. Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi dalam arti sempit yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian, pertambangan, perikanan, kehutanan dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
C.    Pembidangan dan Pokok Bahasan hukum Agraria
Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu:
1.  Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah (objeknya).
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan), pewarisan.
2. Hukum Agraria Administrasi (Administratif)
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang member wewenang kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang timbul. Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah. Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat hukum, yaitu:
3.  Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.
4.  Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang bersumber kepada Boergerlijk Wetboek (BW).
5.  Hukum Agraria Administratif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa.
6.   Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.
7.  Hukum Agraria Antar Golongan
Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif yang tertuang dalam Agrarische Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.
Dilihat dari pokok bahasannya (objeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi 2, yaitu:
1.    Hukum Agraria dalam arti sempit
Haknya membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.
2.    Hukum Agraria dalam arti luas
Materi yang dibahas yaitu:
  • Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.
  • Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan
  • Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air
  • Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak ruang Angkasa
  • Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform
D.    Pengertian Hukum Tanah
Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan hukum yang konkret.
Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
E. Birokrasi Yang Menangani Keagrarian
1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional

            Badan pertanahan nasional adalah suatu lembaga non departemen ynag dibentuk pada tanggal 19 juli 1998 berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 1998. Badan ini merupakan peningkatan dari direktorat jenderal agraria departemen. Peningkatan status tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tanah sudah tidak lagi merupakan masalah agraria yang selama  ini lazimnya di identifikasikan sebagai pertanahan, namun tanah setelah    berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai dimensi pertahanan dan keamanan.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Tugas  yang demikian luas tersebut terlalu besar untuk ditangani suatu direktorat jenderal pada suatu departemen, oleh karena itu diperlukan suatu badan yang lebih tinggi dibawah presiden agar dapat melaksanakan tugasnya dengan otoritas seimbang.

2. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional
Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, terakhir dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi di daerah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota di daerah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/ Kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang kepala yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.

3.  Tugas Badan pertanahan Nasional
Sesuai dengan ketentuan Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,  ditentukan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan.
Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan  tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 atau Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah Kabupaten atau Kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka Kepala Badan Pertanahan berwenang untuk melakukan pendaftaran hak dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan oleh seseorang atau suatu badan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagian wewenang pemberian hak atas tanah dilimpahkan kepada Kantor Badan Pertanahan Propinsi maupun Kantor Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota, hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tanggal 19  Februari 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Februari 1999.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsinya sebagai:
1.   perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2.   perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3.   koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4.   pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5.  penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
6.   pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7.   pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
9.  penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
12.penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14.pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
15. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
16. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
17. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
18. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
19. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6
20. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


IISEJARAH PENYUSUNAN UU No.5 Tahun 1960 TENTANG UPPA.
A. Sebelum Kemerdekaan Sampai Lahirnya UUPA
Sebelum berlaku UUPA No. 5/1960 ada beberapa ketentuan yang mengatur pertanahan yaitu :
a. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat
b. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.

Ad.a. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum perdata Barat.

Pada masa Pemerintahan Belanda banyak ada peraturan-peraturan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia seperti:
1.      Agrarische Wet / Stb. No. 108 tahun 1870
2.      Algemeen Domeinverklaring / Stb. 199a tahun 1875
3.      Domeinverklaring / Stb. No. 118 tahun 1870
4.      Domeinverklaring untuk Sumatera / Stb. No. 94 f tahun 1874
5.      Domeinverklaring untuk keresidenan Manado / Stb. No. 55 tahun 1877
6.      Koninlijk Besluit tgl. 16 April 1872 No. 29 / Stb. No. 117 tahun 1870
7.      Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai hypotheek.
Peraturan-peraturan tersebut diatas dengan berlakunya ketentuan UUPA nomor 5 tahun 1960 maka ketentuan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai lagi dengan cita-cita bangsa Indonesia yang begitu besar untuk meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia khususnya bagi petani penggarap. Agrariche Wet adalah peraturan pertanahan yang dikeluarkan oleh pemerintahan belanda seperti Eigendom recht, erfacht recht, opstal recht dan lain-lain peraturan yang kesemuanya bertujuan untuk lebih menguatkan bangunan hukum pada masa itu, sehingga jelas perbedaan antara hak-hak atas tanah yang berdasarkan hukum adat dan dilain pihak berdasarkan hukum barat.
Oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1979 dinyatakan bahwa semua tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan KUH. Perdata (BW) harus dikonversi kepada ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960. ini menunjukkan bahwa dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1979 maka tidak ada lagi tanah-tanah yang tunduk kepada KHU, Perdata (BW).

Ad.b. Ketentuan-ketentuan yang tunduk kepada hukum adat.

Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga Maruoke berjejer pulau pulau yang dihuni berbagai suku, adat istiadat dan beragam agamanya hal ini merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dengan adanya bermacam-macam suku atau adat istiadat memberikan kepada kita untuk menguasai, mengusahai, atau mengerja lahan yang ada disuatu daerah tertentu, sehingga dengan hasil dari lahan atau tanah tersebut memberikan keteraman bagi masyakarat, namun dengan keanekaragam suku bangsa tersebut akan terlihat dengan berlakunya ketentuan UUPA, yang sama sekali tidak akan membedakan antar suku atau adat istiadat didalam mengusai dan memiliki lahan-lahan tersebut.
Dengan demikian akan jelas bagi kita bahwa hukum adat tersebut harus dilhilangkan sifat kedaerahannya dan harus bersifat lebih Nasional.  Menurut Prof. Budi Harsono menyebut bahwa hukum adat disaneer.[5] Soudargo gautama (Gouw Giok Siong) menyebut hukum adat yang di Retool. Namun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional menyebutkan bahwa hukum adat diartikan sebagai hukum adat Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disanasini  mengandung unsur agama. Dengan demikian didalam pelaksanaannya hingga saat ini belum ada ketentuan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pertanahan yang tunduk kepada ketentuan hukum adat tidak keharusan untuk dikonversi kepada ketentuan-ketentuan yang diatur didalam UUPA Nomor 5 tahun 1960, namun adapun bukti hak yang telah diterbit hanya merupakan alas hak untuk memperoleh hak-hak yang diatur didalam ketentuan UUPA Nomor 5 tahun 1960.
Dalam penyusunan dasar-dasar Hukum Agraria dimulai sejak tahun 1948 untuk menggantikan ketentuan-ketentuan pertanahan warisan Hindia Belanda yaitu dengan pembentukan “Panitia Agraria” yang berkedudukan di Jogjakarta yaitu disebut “Panitia Jogja” yang dibentuk berdasarkan Penpres tanggal 21 Mei 1948 No. 16 yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” yang menjabat pada saat itu sebagai Kepala bagian agraria Kementrian dalam negeri yang beranggotakan:
1.      Badan kementrian & Jawatan.
2.      Anggota-anggota Badan Pekerja KNIP yaitu yang mewakili organisasi tani.
3.      Mewakili organisasi tani dan buruh.
4.      Wakil-wakil dari serikat buruh pertanian.

Panitia Jogja bertugas untuk :
Ø  memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal hukum pemerintahan.
Ø  merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria.
Ø  Serta merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Pekerjaan panitia Jogja dilaporkan pada panitia pemangku kerja dengan dengan No. 22/PA yaitu mengenai asas-asas yang akan merupakan dasar hukum agraria yang baru dengan usulan sbb :
1.      Dilepaskannya azas-azas domein dan adanya pengakuan hak ulayat
2.      Diadakannya peraturan yang memungkinkan diperbolehkannya hak perseorangan yang kuat yaitu hak milik yang dapat dibebani dengan hak tanggungan, pemerintah hendaknya jangan memaksakan hak yang lemah kepada yang lebih kuat, perkembangan tersebut.
3.      Supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan negara lain terutama negara-negara tetangga, supaya orang asing dapat/tidak memiliki hak milik atas tanah.
4.      Perlu diadakannya penetapan luas minimum tanah untukmenghindari perbedaan antara petani kecil dengan petani yang memiliki tanah yang lebih.
5.      luas sehingga dapat memberikan tanah yang cukup bagi petani kecil sekalipun bisa hidup sederhana dari hasil pertanian ditentukan jumlahnya minimal 2 hektar.
6.      Perlu adanya penetapan luas maksimum seseorang yang memiliki tanah pertanian yaitu 10 hektar.
Kemudian setelah negara RI sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal 19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk “PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953 yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo, karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Adapun usulan yang dapat diberikan dalam pembentukan agraria :
a.       mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2 hektar.
b.      ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
c.       yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
d.      Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik, hak pakai, hak usaha.
e.       Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa UUD Dasar Pokok Agraria.
Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No. 5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950. Dengan dibentuknya Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh
Goenawan. Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh untuk membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya panitia ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya.
Maka Kementrian Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14 Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu sebagai Sekjend Kementrian Agraria.
Panitia ini beranggotakan :
1.      Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan jawatan
2.      ahli-ahli hukum adat
3.      Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani

Panitia ini bertugas : untuk mempersiapkan Rancanga Undang-undang Pokok Agraria dalam jangka waktu 1 tahun harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam RUUPA :
1.      Dihapusnya azas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
2.      Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara .
3.      Dualisme hukum agraria dihapuskan.
4.      Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak yang terkuat mempunyai fungsi
5.      Sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
6.      Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli, serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
7.      Perlu diadakan penetapan batas minimum dan maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
8.      Tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
9.      Perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana penggunaan tanah.
Kemudian ada beberapa perubahan mengenai sistematika rumusan serta beberapa pasal dari panitia Soedarwo oleh “Panitia Agraria Soenaryo” diajukanlah pada Dewan Mentri dalam sidangnya tanggal 1 April 1958. Rancangan tersebut diajukan pada DPR sesuai dengan “Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/Hk/1958. Rancangan UU ini kemudian dibicarakan dalam sidang Pleno DPR. Selanjutnya oleh DPR dibahas dan oleh pihak DPR masih memandang perlu untuk mengumpulkan bahan yang diperlukan oleh “Panitia Musyawarah DPR” dibentuklah suatu “Panitia Adhoc” yang diketuai oleh “Mr. AM. Tambunan” dan oleh Prof. Notonegoro dan Prof. Wirjono Projodikoro memberikan masukkan kepada panitia adhoc, namun konsep yang diajukan tersebut ditarik kembali karena rancangan tersebut memakai dasar dari UUDS 1950. Setelah negara RI kembali ke UUD 1945 dibentuklah RUUPA yang lebih dasar dan sempurna yang disesuaikan dengan UUD 1945. Oleh karena itu Rancangan Mentri Agraria Soejarwo disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidangnya tertanggal 22 Juli 1960.
Dalam Kabinet pleno yang sidangnya tanggal 1 Agustus 1960 di dalam pengantar acting, Ketua DPR yang diketuai oleh H. Zainul Arifin yang sidang plenonya tanggal 9 September 1960 diketuai jalannya Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (RUUPA) sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR maka titik berat pembicaraan diletakkan pada pembahasan.

B.  Pemberlakukan UU PA Di  Beberapa Daerah Di Indonesia

Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya berlaku di Indonesia, yaitu pada tanggal 24 September 1960. Pemberlakukan UU Nomor 5 Tahun 1960 ini ternyata tidak berlaku secara serentak di seluruh Wilayah NKRI. Pemberlakuaan UUPA Di Indonesia, ternyata terdapat 2 (dua) Provinsi  yang mengalami keterlambatan dalam memberlakukan UUPA, yaitu Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang Papua dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk Provinsi DIY dan Irian Barat (Papua) didasarkan pada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang berbeda.
Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal  1 April 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor  33 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Sedangkan untuk  Provinsi Irian Barat (Irian Jaya) sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat, pemberlakuan UUPA beserta Peraturan pelaksanaanya baru terhitung pada tanggal 26 September 1971 berdasarkan PMDN No. 8 Tahun 1971 tentang Pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Barat. Pemberlakuan UUPA yang berbeda di kedua wilayah provinsi tersebut,  tentunya membawa konsekuensi hukum pula, yaitu sehubungan pelaksanaan ketentuan Konversi baik itu yang menyangkut hak-hak barat maupun terhadap hak-hak adat Indonesia.
Pertama, keterlambatan dalam pelaksanaan UUPA di Provinsi Irian Jaya (Papua) untuk konversi Hak-hak Barat  berdasarkan SK Mendagri Nomor SK.59/DJA/1973 tertanggal 30 Mei 1973 ditentukan batas waktu pendaftaran konversi bekas hak barat tanggal 26 September 1973, sedangkan batas akhir jangka waktu  berlakunya tanah bekas konversi hak barat maksimal tanggal 26 September 1991 (SK Mendagri Nomor  SK. 21/DJA/1980 tanggal 15 April 1980). Sementara untuk pelaksanaan Konversi bekas hak adat Indonesia yang didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) Nomor 2 Tahun 1962 baru dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 247 Tahun 1988.[6]
Kedua, keterlambatan pemberlakukan UUPA sepenuhnya di DIY berdasarkan Keppres Nomor 33 Tahun 1984 tertanggal 9 Mei 1984, dan Kepres itu berlaku surut terhitung sejak tanggal 1 April 1984 (Pasal 3 Kepres Nomor 33 Tahun 1984). Pasal 1 Kepres tersebut menyatakan bahwa: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi DIY. Selanjutnya pada Pasal 2 ditegaskan, bahwa Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keppres tersebut, diterbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor  66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakuan Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY. Yang kemudian diikuti Pembentukan Kantor Agraria Kabupaten Sleman, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Kantor Agraria Kotamadya Yogyakarta berdasarkan Kepmendagri Nomor 67 Tahun 1984.Yang untuk selanjutnya disusul beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri, yaitu: 1) Kepmendagri Nomor 68 Tahun 1984 tentang Pemberlakukan PMDN Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah Di Propinsi DIY; 2) Kepmendagri Nomor  69 Tahun 1984 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Hak Atas Tanah Hak Milik Perorangan Berdasarkan Perda DIY Nomor 5 Tahun 1954 di Provinsi DIY; 3) Kepmendagri Nomor SK.590.34-746 tentang Pengesahan Perda Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY; 4) Perda Provinsi DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 Di Provinsi DIY.5) Surat Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor: 590/1885 tertanggal 29 Oktober 1984 kepada Bupati Kepala Daerah Se-DIY tentang diperlakukannya UUPA Secara Penuh di Privinsi DIY.
Secara garis besar, Hukum  Tanah yang berlaku sebelum diberlakukannya UU  Nomor 5 Tahun 1960, berlaku  2 (dua) perangkat hukum tanah, yaitu hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
Kedua perangkat hukum tersebut, mempunyai asas yang berbeda dalam  menyikapi hubungan antara tanah dengan benda-benda yang ada di atasnya.  Hukum tanah barat yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berlaku ketentuan bahwa benda-benda atau bangunan menjadi bagian dari tanahnya karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking atau asas accesie) sebagaimana diatur dalam Pasal 500 KUHPerdata). Atas dasar asas itu, maka pemilikan atas tanah menurut Hukum Barat itu meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya (Pasal 571 KUHPerdata). Bangunan yang didirikan di atas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah (Pasal 601 KUH Perdata), kecuali diperjanjikan lain. Sedangkan menurut Hukum Adat (dikenal dengan hak-hak atas tanah Adat Indonesia) tunduk pada asas Pemisahan Horizontal (Horizontale Scheiding) antara tanah dengan bangunan atau benda-benda yang ada atau berdiri di atasnya. Dengan kata lain, pihak yamg membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.
Dengan kata lain “azas pelekatan”, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan satu kesatuan dengan tanah, jadi merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Maka hak pemilikan sebidang tanah  tertentu dengan sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan semua bangunan dan seluruh tanaman yang ada diatas tanah tersebut, kecuali ada perjanjian lain dengan pihak yang membangun atau yang menanami tanaman tersebut.[7]
Hukum agraria nasional tidak menganut “azas pelekatan” namun menganut “azas pemisahan horizontal” sebagaimana dianut oleh hukum adat. Bangunan dan tanaman yang ada diatas sebidang tanah, bukan merupakan  bagian dari tanah tersebut. Dengan demikian hak milik atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan terhadap bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.[8]

III.    DASAR HUKUM, MACAM-MACAM DAN TUGAS PPAT
A. Pengertian PPAT
Pasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
1.      Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2.      PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3.      PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
4.      Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5.      Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6.      Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7.      Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satuan daerah kerja PPAT.
8.      Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9.      Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan.
Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian PPAT tersebut, sehingga kita mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus dijilid, warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan tanggal akta dibuat. Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679 tanggal 11 maret 1996.
Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun 1996 menyebutkan sebagai berikut :
Pasal 1 : Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini. Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.
Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT. Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-nya telah mencapai jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah lain. Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor pertanahan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan PPAT tentang wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.
B. Pengangkatan Dan Pemberhentian PPAT
Dalam Pasal 5 PP No.37/1998, diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai berikut :
1)             PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
2)             PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
3)             Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus ;
a)      Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
b)       Kepala Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas reprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :
1.      PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
2.      Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
3.      PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.
C. Pengangkatan, Pemberhentian dan Daerah Kerja PPAT
Ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, sebagai berikut : Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
1.      berkewarganegaraan Indonesia;
2.      berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3.      berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
4.      belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5.      sehat jasmani dan rohani;
6.      lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7.       lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional
Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional. Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi tersebut.
Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT berhenti menjabat karena
a.    meninggal dunia; atau
b.     telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c.    diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d.   diberhentikan oleh Menteri sementara dalam ayat (2) pasal tersebut menyebutkan; :
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.
(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris.
(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai PPAT.
D.  Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT
Pasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :
1)      PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2)      Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1)      pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)      Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.
3)      PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).
Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
1)      Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
2)      PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya. Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang secara khusus ditentukan.
Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a.       lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan

b.      lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.





[1] Prof. Dr. Suparman Usman, SH., “Hukum Agraria di Indonesia”, IAIN “Suhada” Press, Serang, 2014, hlm.9
[2] Ibid hlm, 11
[3] Ibid hlm. 11
[4] Ibid hlm. 10
5. Dibentuknya badan pertanahan nasional dengan tugas membatu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan uupa maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi peraturan-peraturan penggunaan, pengguasaan, pendaftaran tanah, penggurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan yang ditetapkan presiden.
6 ibid
[5] Budi harsono , Hukum agraria Indonesia , sejarah pembentukkan UUPA Isi dan Pelaksanaan
[6] Bagir Manan, Perjalanan Aturan Peralihan UUD 1945, Varia peradilan No. 259 Juni 2007, hlm. 21-22.)


[8] Ibid, hlm.79

Tidak ada komentar:

Posting Komentar